Sejak Hari Ini
Malam itu, aku duduk di pojok kamar yang temaram. Lampu sengaja kupadamkan, hanya menyisakan cahaya kecil dari layar ponsel yang terus kugenggam. Aku menatap pesan terakhir darimu—kalimat singkat, tanpa emosi, yang membuat hatiku seakan runtuh ke dasar yang paling gelap.
"Maaf, aku tidak bisa."
Itu saja. Hanya tiga kata, tapi terasa seperti ribuan pisau menusuk perlahan. Sejak hari itu, aku tahu sesuatu dalam diriku telah berubah.
Aku menangis, tentu saja. Air mata seperti tidak ada habisnya. Setiap tetesnya membawa kenangan yang tak bisa kuhentikan. Tawamu, suaramu, tatapan matamu—semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terus memutar ulang adegannya sendiri.
Lama aku bertanya-tanya, apa yang salah denganku? Mengapa aku tidak cukup? Mengapa cintaku yang tulus tidak bisa membuatmu bertahan?
Seiring waktu, aku mulai memahami sesuatu yang menyakitkan: diriku mungkin memang tidak seberharga itu bagimu. Aku mungkin hanya persinggahan sementara, tempatmu beristirahat sebelum melanjutkan perjalananmu ke tempat lain.
Namun yang paling aneh dari semuanya, aku tetap mencintaimu. Meski aku tahu kamu telah pergi, meski aku tahu aku hanyalah bayangan di sudut hatimu, aku tetap tidak bisa berhenti merindukanmu.
Ada saat-saat aku ingin marah pada diriku sendiri. Mengapa aku tetap memilih mencintaimu, padahal jelas-jelas aku tidak dihargai? Tapi mungkin itulah cinta. Ia tidak selalu adil, tidak selalu logis.
Malam itu, aku membuat keputusan. Aku tidak akan memaksa dirimu untuk kembali. Aku tidak akan memohon atau berharap lagi. Namun, aku juga tidak akan menyangkal perasaanku. Aku mencintaimu, dan itu adalah bagian dari diriku yang harus kuterima, setidaknya untuk sekarang.
Sejak hari ini, aku tahu aku akan melangkah maju. Mungkin perlahan, mungkin dengan hati yang masih berat. Tapi aku ingin belajar mencintai diriku sendiri lebih dari aku mencintaimu. Karena akhirnya aku sadar, diriku seharusnya selalu lebih berharga dari cintaku padamu.