Hujan yang Membawa Luka
Aku mencintai hujan. Setiap tetesnya seolah berbicara,
menggantikan kata-kata yang tak pernah sanggup keluar dari bibirku. Hujan
adalah ruang yang aman, di mana aku bisa menangis tanpa ketahuan, menyatu
dengan dinginnya udara yang selalu membuat tubuhku menggigil. Aku tak tahan
dingin, tapi aku tak pernah menolak kehadiran hujan.
Aku sering menangis di tengah malam, sendirian di
pojok kamar. Bukan karena aku tak punya siapa-siapa, tapi karena aku takut
mengganggu ketenangan orang lain dengan bebanku. Aku takut merusak suasana,
takut menjadi beban. Jadi, aku memilih menyimpan semuanya sendiri, seperti
barang-barang di lemari yang terlalu penuh hingga pintunya sulit ditutup.
Aku tahu, aku seharusnya bisa bilang kalau aku juga
punya batas. Bahwa aku juga tidak suka diperlakukan seperti ini—dianggap kuat
sepanjang waktu, dianggap tak butuh perhatian, dianggap "baik-baik
saja." Tapi setiap kali kesempatan itu muncul, aku hanya tersenyum dan
berkata, "Gak apa-apa." Aku memilih "gapapa" bukan karena
aku tidak peduli, tapi karena aku lelah menjelaskan.
Kamu tahu, aku bisa melakukan semuanya sendiri. Aku
bisa membeli apa saja yang aku butuhkan, pergi ke mana saja yang aku mau, dan
menyelesaikan semuanya tanpa bantuan siapa pun. Tapi aku tetap memastikan
hubungan kita baik-baik saja. Bukan karena aku takut kehilanganmu, tapi karena
aku sudah tak punya energi untuk memulai semuanya dari awal. Aku sudah mati
sejak dua tahun lalu.
Ya, dua tahun lalu, sesuatu di dalam diriku mati.
Semangat, harapan, mungkin juga cinta. Aku terus berjalan karena tak ada
pilihan lain, karena hidup tak pernah menunggu siapa pun. Tapi rasanya, aku
hanya menjadi bayangan dari diriku yang dulu.
Dan hari ini, di bawah hujan yang dinginnya menyayat,
aku sadar aku benar-benar sakit. Bukan sakit yang bisa disembuhkan oleh obat,
tapi sakit yang membuatku terus merasa kosong meski dikelilingi orang-orang.
Aku tak tahu bagaimana caranya sembuh, atau apakah aku bahkan ingin sembuh.
Hujan terus turun, seperti memelukku dengan
kejujurannya. Aku hanya ingin satu hal—bukan pengertian, bukan perhatian, tapi
keberanian untuk berhenti berkata "gapapa." Mungkin suatu hari nanti
aku akan menemukannya. Tapi untuk saat ini, biarlah hujan yang menjadi bahuku,
yang mengerti tanpa perlu aku berkata apa-apa.