Kembali Menulismu

 

Sudah sejak 2022 aku berhenti menulismu. Kala itu, aku pikir, dengan berhenti menuliskan namamu, aku juga akan berhenti mengingatmu. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Setiap huruf yang aku coba hindari justru semakin menancap di sudut pikiranku, seakan kamu telah menjadi tinta yang mustahil pudar dari lembar kehidupanku.

Kini, di tahun 2024, aku kembali menulismu. Aku tak tahu kenapa. Mungkin, karena rindu yang tak bisa aku lawan, atau mungkin aku hanya ingin menyambung cerita yang dulu pernah tergantung tanpa ujung. Januari ini mengingatkanku pada Januari yang lalu, ketika kita masih seperti ini—dua orang yang saling menatap tapi seakan memandang ke arah yang berbeda.

Apa kamu masih ingat? Tentang hari-hari yang kita habiskan dengan percakapan panjang hingga lupa waktu. Tentang perdebatan kecil yang selalu berakhir dengan tawa, meskipun kadang aku tahu kamu sengaja mengalah. Januari selalu menyimpan sisa-sisa kenangan itu, dan aku, entah bagaimana, tak pernah mampu benar-benar melepaskannya.

Untuk marah padamu kini aku tak mampu. Sudah habis rasanya energi itu, tergantikan oleh sebuah penerimaan yang aneh—semacam berdamai dengan luka tanpa pernah benar-benar sembuh. Tapi, jika aku tak bisa marah, lalu apa yang harus aku lakukan?

Kamu selalu abadi dalam tulisanku. Entah bagaimana caranya, meskipun aku berusaha menghapusmu dari halaman-halaman yang pernah kuisi, kamu tetap kembali. Seperti tokoh utama dalam cerita yang tak ingin selesai, kamu selalu menemukan jalan untuk menjadi bagian dari narasi ini.

Jadi, apa sebenarnya maumu? Aku bertanya bukan karena berharap jawaban, melainkan karena aku lelah menebak. Jika kamu memang memilih tinggal, tinggallah. Jika tidak, pergilah. Tapi, jangan menjadi bayang-bayang yang terus menghantui tanpa arah.

Dan di tengah semua ini, aku hanya bisa terus menulis. Menulismu. Menulis tentangmu, meski aku tahu kamu mungkin tak pernah membaca.

Postingan populer dari blog ini

Haruskah Aku Mati Agar Dicintai Lagi?

Hujan yang Membawa Luka