Haruskah Aku Mati Agar Dicintai Lagi?
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya—hening, tapi
penuh beban yang tak terlihat. Aku duduk di sisi ranjang, memeluk lututku
sendiri, memandangimu yang seakan jauh meski hanya beberapa langkah di depan
mataku. Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya, suara yang keluar dari
bibirku terdengar lebih rapuh dari yang kuinginkan.
“Apakah aku punyamu?” tanyaku.
Kau menoleh, tersenyum tipis, dan menjawab, “Iya.”
Hati kecilku sejenak lega. Tapi sebelum aku bisa
menikmati kebahagiaan itu, mulutku tanpa sadar bertanya lagi, “Kalau begitu…
kita pacaran, kan?”
Aku tidak akan pernah melupakan jeda itu. Jeda yang
terlalu lama, terlalu menyakitkan, sebelum akhirnya kau menjawab, “Tidak.”
Rasanya seperti tertusuk sesuatu yang tak kasat mata.
Aku mencoba tersenyum, tapi air mata mulai mengalir tanpa izin. Aku menunduk,
menutupi wajahku dengan kedua tangan, berharap kau tak melihat betapa hancurnya
aku saat itu. Namun, tangisanku semakin keras, hingga akhirnya kau mendekat,
bingung dan cemas.
“Kenapa kamu menangis?” tanyamu, suaramu penuh
ketidakpastian.
Aku tidak menjawab, hanya semakin terisak, sementara
kau mencoba meraihku, mencoba menenangkanku, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
“Bagaimana aku bisa berhenti menangis kalau aku bahkan
tidak tahu apa artinya kita?” akhirnya aku berkata, suaraku pecah di antara
tangisan.
Kau menghela napas panjang, seolah kehabisan
kata-kata. “Aku tidak tahu…” kau mulai, lalu menatapku dengan mata yang lelah.
“Aku rasa… aku sudah pergi sejak lama.”
“Apa yang bisa membuatmu percaya lagi? Apa yang bisa
membuatmu kembali padaku?” Aku bertanya dengan putus asa.
Kau menggeleng pelan, lalu menjawab dengan suara yang
hampir berbisik, “Tidak ada.”
Dunia seakan runtuh di sekitarku. Kata-kata itu
menghantamku lebih keras daripada apa pun yang pernah kudengar darimu. Aku
terdiam sejenak, mencoba memproses semuanya.
Lalu kau berkata, dengan nada yang nyaris dingin,
“Kadang aku berpikir… bunuh diri.”
Dan di saat itu, pikiranku langsung melompat ke
sesuatu yang gelap. “Apa aku harus mati kedua kali?” gumamku lirih, hampir
tidak terdengar.
Kau menatapku, bingung. Tapi aku melanjutkan, seolah
berbicara kepada diriku sendiri. “Dulu, aku sudah berpikir untuk mati karenamu,
biar kamu mencariku. Tapi sekarang… sekarang aku bertanya-tanya, apa aku harus
mati agar bisa dicintai lagi olehmu?”
Kata-kataku menggantung di udara, membekukan kita
berdua dalam keheningan yang mencekam. Aku menunduk, tidak lagi berharap ada
jawaban darimu, karena aku tahu jawabannya hanya akan membuat luka ini semakin
dalam.
Dan di malam itu, aku menyadari sesuatu: cinta tidak
bisa dipaksakan, bahkan ketika hatimu telah kau serahkan sepenuhnya.