Pada Malam Itu


Sebelum pukul 9 malam, segalanya terasa baik-baik saja. Percakapan kita mengalir seperti biasanya, tanpa tanda-tanda keraguan atau jarak. Aku merasa tenang, percaya bahwa malam ini akan berlalu seperti malam-malam sebelumnya—hangat dengan kehadiranmu, meski hanya lewat suara atau pesan.

Namun, setelah pukul 9 malam, semuanya berubah. Aku mencarimu, mencoba menghubungimu, tapi seakan kamu menghilang begitu saja. Ponselku berkali-kali mencoba menghubungimu, tapi tidak ada jawaban. "Mungkin dia sibuk," pikirku, mencoba menenangkan hati yang mulai gelisah.

Tapi kemudian, aku membuka salah satu akun media sosialmu. Aku melihat kamu masih aktif di sana, bahkan sempat membalas komentar seseorang di salah satu unggahanmu. Aku terpaku, bingung. "Jadi, sebenarnya kamu sedang di mana? Kenapa tidak menjawab teleponku? Kenapa tidak memberiku kabar?"

Pikiran-pikiran itu mulai menggulung seperti ombak besar di kepalaku. Aku memeriksa panggilan terakhirku—20 panggilan tak terjawab, dan sekitar 45 panggilan tertolak. Itu bukan kebetulan, bukan kelalaian. Itu keputusan.

Aku bertanya pada diriku sendiri, "Apa artinya ini? Apakah ini sinyal bahwa kamu ingin aku berhenti? Atau hanya aku yang terlalu berharap?"

Dalam keheningan malam itu, aku hanya bisa menatap layar ponselku yang tak kunjung berbunyi, seolah semua jawaban ada di ujung jarimu, tapi tak pernah sampai padaku. Aku merasa kecil, seakan kehadiranku tak lagi berarti.

Aku tidak tahu, apakah aku harus bertahan, atau melepaskan. Yang aku tahu, malam itu kamu membuatku mempertanyakan segalanya—tentang diriku, tentang kamu, tentang kita.

Postingan populer dari blog ini

Haruskah Aku Mati Agar Dicintai Lagi?

Hujan yang Membawa Luka

Kembali Menulismu