Merapikan Ruang Jiwa


Ada saat-saat ketika aku duduk sendirian, memandangi ruang dalam diriku yang terasa seperti rumah tua. Di sana, banyak hal yang pernah indah kini retak. Dinding-dindingnya penuh coretan luka, dan lantainya berserakan pecahan harapan yang tak pernah benar-benar pulih.

Aku tahu, di rumah ini, kebahagiaan hanya datang sebentar. Ia seperti tamu yang mampir sejenak, lalu pergi tanpa pamit. Aku tak pernah benar-benar merasakannya tinggal lama. Tapi aku juga tahu, jika seseorang memutuskan untuk masuk ke sini, aku tidak ingin mereka terluka oleh kekacauan yang ada.

Maka, aku mulai merapikan.

Aku memunguti serpihan harapan yang berserakan, menyusunnya kembali meski bentuknya tak sempurna. Aku membersihkan dinding-dinding luka, mencoba melapisinya dengan lapisan baru berupa penerimaan. Aku membuka jendela, membiarkan cahaya masuk sedikit demi sedikit, meski rasanya sulit untuk terbiasa dengan terang setelah lama berada dalam gelap.

Tiap sudut rumah ini mengingatkanku pada masa lalu yang ingin kulupakan, tapi aku tahu aku tak bisa. Semua kenangan itu adalah bagian dari fondasi rumah ini. Yang bisa kulakukan hanyalah menerima mereka apa adanya, sambil menata ulang ruang yang tersisa agar seseorang yang hadir nanti tidak merasa tersesat.

Aku tidak tahu siapa yang akan datang. Aku tidak tahu kapan pintu rumah ini akan diketuk lagi. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin mereka terluka oleh apa yang pecah di dalam diriku.

Jadi, meskipun aku sendiri belum benar-benar bahagia, aku terus berusaha merapikan. Bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk diriku sendiri. Karena aku sadar, rumah ini adalah tempat di mana aku akan tinggal seumur hidup. Dan aku pantas memiliki ruang yang tidak lagi penuh dengan kekacauan.

Postingan populer dari blog ini

Haruskah Aku Mati Agar Dicintai Lagi?

Hujan yang Membawa Luka

Kembali Menulismu