Kehilangan yang Tak Terucapkan

 


Saat kita duduk bersama, keheningan itu membungkam segala kata. Waktu seperti berhenti, namun satu kalimat terlempar begitu saja dari mulutmu. "Lalu, kenapa kamu melakukan itu dulu?"

Aku terpaku, seolah waktu itu berhenti sejenak untuk memberiku ruang untuk menjawab. Tapi rasanya, jawabannya terlalu berat, terlalu rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Aku hanya bisa tersungkur dalam tangisan, terisak tanpa bisa menjawab. Itu adalah pertanyaan yang semudah itu, namun aku tak pernah tahu bagaimana menjelaskannya, bahkan untuk diriku sendiri.

Aku mencintaimu dulu, dan sampai sekarang cintaku padamu tidak pernah berubah. Rasanya masih sama. Tak ada perbedaan. Yang membedakan hanya satu hal—dulu aku memilikimu sepenuhnya, dan sekarang aku tidak memilikimu sama sekali.

Dulu, aku menyakitimu dengan cintaku, karena aku terlalu terbawa perasaan, terlalu takut kehilangan. Kini, aku menyakiti cintaku sendiri dengan menggenggammu, dengan terus mempertahankan rasa ini meski aku tahu, kamu sudah bukan milikku lagi. Aku tahu, aku tak bisa terus begini. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara melepaskan.

Kehilangan semacam apa yang akan kurasakan untuk kedua kalinya? Aku sudah merasakannya sekali, dan rasanya begitu menyakitkan. Namun, apa yang akan aku rasakan kali ini? Ketika aku sadar, aku sudah kehilanganmu sekali lagi, meskipun kita masih ada di sini, bersama.

Aku membisikan dalam hati, “Aku tidak bisa kehilangan kamu untuk kedua kalinya,” tetapi kau tidak menjawab. Hening. Itu adalah jawaban yang paling jelas, meskipun tak ada kata yang terucap.

Andai saja aku bisa menjadi orang yang pernah kamu inginkan lagi—seseorang yang bisa membuatmu melihatku dengan cara yang sama seperti dulu. Andai aku bisa mengubah semuanya, memperbaiki kesalahan, menjadikan kita seperti yang kita impikan. Tapi aku tahu, itu hanya impian yang tak mungkin terwujud.

Aku duduk di sini, memandangimu dengan segala yang tersisa dalam hatiku, bertanya-tanya apakah kita akan pernah kembali, atau apakah kita hanya akan terus menjadi kenangan yang memedihkan.

Postingan populer dari blog ini

Haruskah Aku Mati Agar Dicintai Lagi?

Hujan yang Membawa Luka

Kembali Menulismu