Malam itu seperti malam-malam sebelumnya—hening, tapi penuh beban yang tak terlihat. Aku duduk di sisi ranjang, memeluk lututku sendiri, memandangimu yang seakan jauh meski hanya beberapa langkah di depan mataku. Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya, suara yang keluar dari bibirku terdengar lebih rapuh dari yang kuinginkan. “Apakah aku punyamu?” tanyaku. Kau menoleh, tersenyum tipis, dan menjawab, “Iya.” Hati kecilku sejenak lega. Tapi sebelum aku bisa menikmati kebahagiaan itu, mulutku tanpa sadar bertanya lagi, “Kalau begitu… kita pacaran, kan?” Aku tidak akan pernah melupakan jeda itu. Jeda yang terlalu lama, terlalu menyakitkan, sebelum akhirnya kau menjawab, “Tidak.” Rasanya seperti tertusuk sesuatu yang tak kasat mata. Aku mencoba tersenyum, tapi air mata mulai mengalir tanpa izin. Aku menunduk, menutupi wajahku dengan kedua tangan, berharap kau tak melihat betapa hancurnya aku saat itu. Namun, tangisanku semakin keras, hingga akhirnya kau mendekat, bingung dan ...
Aku mencintai hujan. Setiap tetesnya seolah berbicara, menggantikan kata-kata yang tak pernah sanggup keluar dari bibirku. Hujan adalah ruang yang aman, di mana aku bisa menangis tanpa ketahuan, menyatu dengan dinginnya udara yang selalu membuat tubuhku menggigil. Aku tak tahan dingin, tapi aku tak pernah menolak kehadiran hujan. Aku sering menangis di tengah malam, sendirian di pojok kamar. Bukan karena aku tak punya siapa-siapa, tapi karena aku takut mengganggu ketenangan orang lain dengan bebanku. Aku takut merusak suasana, takut menjadi beban. Jadi, aku memilih menyimpan semuanya sendiri, seperti barang-barang di lemari yang terlalu penuh hingga pintunya sulit ditutup. Aku tahu, aku seharusnya bisa bilang kalau aku juga punya batas. Bahwa aku juga tidak suka diperlakukan seperti ini—dianggap kuat sepanjang waktu, dianggap tak butuh perhatian, dianggap "baik-baik saja." Tapi setiap kali kesempatan itu muncul, aku hanya tersenyum dan berkata, "Gak apa-apa." ...
Sudah sejak 2022 aku berhenti menulismu. Kala itu, aku pikir, dengan berhenti menuliskan namamu, aku juga akan berhenti mengingatmu. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Setiap huruf yang aku coba hindari justru semakin menancap di sudut pikiranku, seakan kamu telah menjadi tinta yang mustahil pudar dari lembar kehidupanku. Kini, di tahun 2024, aku kembali menulismu. Aku tak tahu kenapa. Mungkin, karena rindu yang tak bisa aku lawan, atau mungkin aku hanya ingin menyambung cerita yang dulu pernah tergantung tanpa ujung. Januari ini mengingatkanku pada Januari yang lalu, ketika kita masih seperti ini—dua orang yang saling menatap tapi seakan memandang ke arah yang berbeda. Apa kamu masih ingat? Tentang hari-hari yang kita habiskan dengan percakapan panjang hingga lupa waktu. Tentang perdebatan kecil yang selalu berakhir dengan tawa, meskipun kadang aku tahu kamu sengaja mengalah. Januari selalu menyimpan sisa-sisa kenangan itu, dan aku, entah bagaimana, tak pernah mampu benar-be...